PEKANBARU — Sejumlah kyai kultural dari berbagai daerah serta para mantan pengurus wilayah Nahdlatul Ulama (NU) se-Indonesia mendesak percepatan pelaksanaan Muktamar Luar Biasa (MLB) guna merespons dinamika internal yang tengah terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Desakan tersebut mengemuka dalam pertemuan para kyai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kyai-Kyai Kampung se-Indonesia (FK3I) bersama jajaran Santri Tani Nahdlatul Ulama (SANTAN NU) di Pendopo Besar SANTAN NU, Pekanbaru, Riau, Minggu (7/12). Mereka menilai MLB perlu segera digelar sebagai langkah penyelamatan organisasi dan penjagaan marwah NU sebagai jangkar bangsa.
Ketua SANTAN NU, KH. T. Rusli Ahmad, dan Ketua LBH SANTAN NU, Rachman Ardian Maulana, yang ditemui awak media seusai kegiatan silaturahmi itu, menegaskan bahwa situasi yang terjadi saat ini di PBNU telah menimbulkan gelombang keprihatinan dari para kyai kampung hingga mantan pengurus NU di berbagai tingkatan.
“Para kyai kampung yang tergabung dalam FK3I menyampaikan kesedihan, keprihatinan, dan kepeduliannya atas dinamika yang sedang berlangsung di PBNU. Mereka meminta agar segera diambil langkah tegas melalui Muktamar Luar Biasa,” ujar KH. Rusli Ahmad yang akrab disapa Panglimo Santri.
Ia menambahkan, suara desakan tersebut tidak hanya datang dari akar rumput, tetapi juga dari sejumlah kyai dan mantan pengurus wilayah NU di berbagai provinsi. Mereka menilai MLB adalah jalan terbaik untuk mengembalikan soliditas, marwah, dan kepemimpinan NU agar kembali pada khittah perjuangan.
“Kyai-kyai dan mantan pengurus NU dari Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatra hingga Riau menyatakan pentingnya MLB digelar secepatnya. Ini sebagai bentuk ikhtiar menjaga marwah NU sebagai jangkar bangsa dan negara,” tegas Panglimo Santri.
Latar Belakang Polemik PBNU
Desakan percepatan MLB tidak terlepas dari polemik nasional yang sedang melanda PBNU. Konflik memuncak setelah Syuriyah PBNU mencopot Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), pada 26 November 2025, dengan alasan dugaan pelanggaran aturan organisasi. Namun, Gus Yahya membantah dan menilai keputusan tersebut tidak sah karena tidak sesuai dengan AD/ART NU.
Perselisihan ini kemudian menimbulkan dualisme kepemimpinan, di mana Rais Aam PBNU mengambil alih sementara, sementara pihak PBNU menyatakan akan menggelar rapat pleno atau muktamar untuk mencari jalan penyelesaian.
Di tengah situasi tersebut, berbagai elemen kultural NU merasa perlu turun tangan agar organisasi terbesar di Indonesia itu tidak terpecah dan tetap menjadi penyangga keutuhan bangsa.***

